Senin, 11 Juli 2011

Link

Selamat Riadi: selamatriadi.blogspot.com
R.Mursid:   rmursidtp.blogspot.com

Cetakan pasir

UJIAN NASIONAL
TAHUN PELAJARAN 2010/2011
KISI-KISI SOAL TEORI KEJURUAN
Satuan Pendidikan                    :           Sekolah Menengah Kejuruan
Kompetensi Keahlian    :           Teknik Pengecoran Logam
Kode                                        :           1245
Alokasi Waktu              :           120 menit

No.
Standar Kompetensi Lulusan
Indikator
1.                   
Memilih dan menggunakan peralatan pembandingan dan/atau alat ukur dasar
Menjelaskan peralatan pembanding dan alat ukur dasar
2.                   
Menerapkan prinsip-prinsip K3 di tempat kerja
Menerapkan K3 di tempat kerja
3.                   
Menyiapkan sket tangan
Menjelaskan jenis proyeksi
4.                   
Menyebutkan pembuatan dan pengolahan logam
Menjelaskan proses peleburan logam
5.                   
Mengidentifikasi jenis dan fungsi perkakas tangan
Mengidentifikasi jenis dan perkakas tangan
Mengidentifikasi perkakas tangan
6.                   
Menggunakan peralatan pengukur presisi
Menerangkan alat ukur presisi
7.                   
Mengoperasikan mesin
Menerapkan  proses permesinan
8.                   
Melakukan Persiapan tanur
Menjelaskan pemanasan awal terhadap bahan
Menjelaskan bagian tanur peleburan
9.                   
Melakukan Pemantauan tanur
Mendeskripsikan pencairan bahan hingga temperatur pengambilan sample uji komposisi
10.               
Menyiapkan peralatan pengecoran tanpa tekanan
Mendefinisikan pelapisan cetakan
11.               
Melakukan penuangan secara manual
Menjelaskan perlakuan cairan logam
12.               
Mencampur pasir

Menentukan formula campuran pasir cetak
13.               
Melakukan pengujian pasir cetak
Menjelaskan pengujian pasir cetak
14.               
Menjaga kualitas logam
Menjelaskan temperatur cair logam
15.               
Menuangkan Logam Cair
Mengidentifikasi kualitas coran dan penyebab cacat coran
16.               
Menentukan tuntutan kerja pola
Menentukan persyaratan pembuatan pola
17.               
Membersihkan hasil cetakan
Membersihkan benda cor dengan semprot  mimis/shot blasting
18.               
Memeriksa tata letak pola
Menentukan kemiringan pola
Menerangkan sistem saluran yang telah diberi radius pada sisi-sisinya

19.               
Memasang Sistem Saluran
Mendefinisikan fungsi dan bagian system saluran
20.               
Menyiapkan peralatan pengecoran
Mengidentifikasi jenis mesin pengecoran tanpa tekanan dan metoda yang digunakan
21.               
Mengoperasi kan Seluruh fungsi dan panel kendali mesin pengecoran bertekanan
Menjelaskan proses die casting
22.               
Mengoperasikan mesin untuk membuat coran
Mendeskripsikan urutan proses mesin

Menjelaskan bagian mesin die casting
23.               
Memeriksa Coran
Menerapkan pemeriksaan secara visual
24.               
Mengevaluasi
benda tuang/tempa
Menentukan jenis pengujian merusak(DT)
25.               
Mengidentifikasi cacat benda
tuang/tempa
Menentukan cacat benda
tuang/tempa
26.               
Menjelaskan cara mengoperasikan mesin
Mengidentifikasi bagian mesin operasi dasar
27.               
Menguji benda tuang
Menjelaskan sifat – sifat  logam
28.               
Melakukan tindakan perbaikan
Menentukan langkah perbaikan yang dapat diambil pada proses pengecoran
29.               
Membuat Cetakan, Pola,
Perkakas Bantu
Mengidentifikasi bahan resin yang baik sesuai spesifikasi
Menjelaskan Sifat-sifat resin
30.               
Merakit cetakan/ inti
Menjelaskan inti
Menjelaskan telapak inti
31.               
Memahami dasar-dasar proses perlakuan panas
Menjelaskan dasar-dasar proses perlakuan panas
Mengidentifikasi jenis perlakuan panas pada pengecoran
32.               
Melakukan perbaikan sifat mekanik pada hasil coran
Menjelaskan perbaikan sifat mekanik dengan perlakuan panas
33.               
Mengidentifikasi dapur pemanas dan cara pengukuran temperatur perlakuan panas
Menentukan  temperatur perlakuan panas

Pengecoran

I. PENDAHULUAN



A. LATAR BELAKANG

Pertama, upah miminum (UM) menjadi pro dan kontra para ekonom karena upah tersebut yang logikanya ditentukan di atas harga pasar, akan mendorong pengusaha mengurangi penggunaan tenaga kerja, bahkan  menghambat masuknya (entry) suatu perusahaan pada suatu industri (SMERU, 2001, Kuncoro, tt; Ghellab, 1998). Untuk mengatasi kekakuan harga yang ditetapkan melalui UM diperlukan variasi upah minimum yang bertujuan mengendorkan ketegaran tersebut. Pemikiran ini kemudian dikenal dengan Upah Minimum Sektoral (UMS).   
Sayang, sejak reformasi sosial  dibarengi dengan era otonomi daerah, upah tidak lagi divariasi berdasar sektor tetapi diserahkan kepada daerah, menjadi upah minimum kota (UMK). Upah minimum tidak lagi dikaitkan dengan produktivitas atau yang disederhanakan berdasar karakteristik industri, tetapi didasarkan kepada batas-batas daerah yang bersifat administratif. Daerah itu sendiri memang mencerminkan perbedaan kemajuan ekonomi, akan tetapi di daerah yang miskin masih mungkin ditemukan industri yang maju dan memiliki laba tinggi, sebaliknya di daerah yang lebih kaya masih ditemukan banyak industri tradisional yang terbelakang dan memiliki kemampuan laba yang rendabh. Sintesis dari kedua model adalah UMSP (upah minimum sektoral propinsi) yang masih ditemukan di beberapa daerah di luar Jawa.
Bagi investor yang akan masuk kepada suatu industri, upah minimum menjadi informasi penting dalam mengestimasi komponen biaya. Dengan kemungkinan diferensiasi upah ke bawah dan ke atas, maka semua kemungkinan produktivitas entrant akan lebih layak masuk ke dalam suatu industri. Oleh sebab itu diversifikasi upah minimum yang bergerak antarindustri yang lazim dikenal dengan upah minimum sektoral, secara teoritis akan mengendorkan dampak negatif upah minimum tunggal.
Bagaimana upah minimum sektoral ditentukan? UMS ditentukan pada dasarnya untuk mengakomodasi kemampuan membayar suatu industri. Kemampuan membayar suatu industri sendiri tergantung pada beberapa faktor seperti penggunaan kapital per pekerja, tingkat konsentrasi atau penguasaan pasar, adanya modal asing dalam struktur permodalannya, orientasi pasarnya seperti kemampuan mengekspor, biaya lain misalnya penggunaan energi, ukuran perusahaan itu sendiri, serta tingkat kemungkinan penggunaan tenaga yang  memungkinkan dibayar lebih rendah terutama wanita dan anak-anak. Di samping itu, lokasi dan kualitas tenaga kerja yang digunakan oleh suatu industri yang dapat diwakili oleh pendidikan, juga memainkan peranan penting.
Penelitian ini bermaksud mengcover variabel-variabel tersebut untuk membantu penentuan upah minimum sektoral propinsi (UMSP). Para peneliti telah berhasil membuat model penyederhaan dengan mengelompokkan variabel-variabel tersebut dalam dua kelompok besar yaitu yang berkait dengan karakteristik individu dan karaktersitik industri (Wachtel dan Betsey, 1972:121-122; Dickens dan Katz, 1987:50-51; Krueger dan Summers, 1988:263).
Para peneliti tersebut juga mengembangkan metodologi untuk mengestimasi pengaruh berbagai variabel yang mempengaruhi upah dalam dua tahap regresi persamaan upah. Upah pada umumnya memiliki pola yang bergerak searah dengan sumber rente. Lebih-lebih di negara yang maju yang relatif mengalami kelangkaan tenaga kerja terjadi proses bagi rente (rents sharing). Proses bagi rente tersebut, kemudian akan menyebabkan keragaman upah mengikuti kemampulabaan (profitability) suatu industri. Pola regresi dua tahap yang dikembangkan oleh peneliti upah tersebut di atas digunakan dalam riset ini sebagai alat bantu untuk memprediksi atau mengindeksasi upah minimum sektoral atau upah minimum antarindustri.
Pemerintah sendiri yang lebih concern terhadap masalah keadilan, pemerataan, dan mengurangi kemiskinan, selalu menetapkan upah minimum (UM) yang bertujuan menghalangi bekerjanya pasar, jika tenaga kerja berkelebihan pasok atau memiliki nilai tawar yang lemah. Studi SMERU (2001), misalnya, mengungkapkan bahwa dampak  dari penentuan UM yang sekarang didesentralisasi  ke daerah dan dilaksanakan lebih ketat, di samping mengurangi kesempatan kerja di sektor modern, justru memiskinkan kelompok tenaga kerja yang rentan seperti pekerja wanita dan usia muda yang dipekerjakan secara tidak tetap, kontrak, atau informal.
Cerita tersebut di atas mendorong perlunya penentuan upah yang lebih fleksibel. Penelitian ini menjadi penting, karena berusaha membantu merumuskan suatu model untuk memprediksi upah minimum sektoral yang bergerak lebih fleksibel lagi (built in) yang selalu bervariasi mengikuti kemajuan industri. Model ini diharapkan dapat menjadi alternatif atau setidaknya memperkaya bahan bagi komisi upah  propinsi atau kota yang berkeinginan menetapkan upah minimum sektoral secara lebih fleksibel .
Kedua, selanjutnya riset ini bertujuan untuk mengkaji diferensiasi upah (harga tenaga kerja) dan pengaruhnya terhadap permintaan kerja antarindustri dan antarpropinsi di Indonesia. Beberapa propinsi pada tahun 2002 masih menenatapkan upah minimum sektoral propinsi atau UMSP (http://www. nakertrans.go.id/ pusdatinnaker/ upah/ Upah.htm). Akan tetapi, mulai 2003 diferensiasi upah ditetapkan menurut perbedaan kota atau kabupaten saja. Hal tersebut menunjukkan terjadinya perubahan kebijakan diferensiasi harga tenaga kerja yang semula divariasi berdasar kemampuan membayar suatu industri di dalam propinsi, sekarang menjadi diferensiasi berdasar kota atau kabupaten saja.
Pada tahun 2002 beberapa propinsi masih melakukan diferensiasi upah melalui penetapan upah minimum sektoral porpinsi, propinsi yang paling lengkap menetapkan upah minimum adalah Sumatra Utara, dengan menetapkan upah minimum untuk 52 jenis industri. Kemudian Kalimantan Selatan, menetapkan upah minimum untuk 46 jenis industri. Berikutnya, Sumatra Selatan menetapkan 8 jenis industri, Maluku Utara 7 jenis industri, disusul Bengkulu dan Kalimantan Barat menetapkan 5 jenis industri. Demikian juga, Kalimantan Tengah, NTB, Maluku, Kalimantan Timur, Jambi, Sulawesi Tenggara, Irian Jaya menetapkan kurang dari lima jenis industri.
Diferensiasi upah yang merupakan harga tenaga kerja memiliki dua tujuan, pertama, bertujuan mengakomodasi pembeli marginal yaitu industri yang memiliki kemampuan membayar rendah, dan kedua, bertujuan memperbaiki tingkat pembagian nilai tambah antara pekerja dan pengusaha. Penetapan upah minimum yang bervariasi dapat dikaitkan dengan diferensiasi  harga.  Tujuan  dari  diferensiasi  harga  adalah menghabiskan surplus dari pembeli atau pengguna tenaga kerja. Jika diferensiasi harga dilakukan ke atas, ini berarti mengambil surplus dari pembeli kaya yang dapat diartikan sebagai usaha perbaikan sharing antara pekerja dan pengusaha.
Sebaliknya, jika diferensiasi dilakukan ke bawah, ini berarti ingin mewadahi pembeli tenaga kerja pada industri yang memiliki produktivitas rendah. Dalam literatur ekonomi industri, upah yang tinggi bisa digunakan sebagai barier to entry bagi entrant. Dengan demikian, jika diferensiasi dilakukan ke bawah, menyebabkan lebih layaknya perusahaan baru. Lebih-lebih jika upah dapat dibedakan menurut ukuran perusahaan, maka setiap entrant yang tentu saja berukuran relatif kecil, akan memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah. Hal ini mendorong timbulnya persaingan yang pada akhirnya menguntungkan konsumen, karena persaingan diasumsikan menghasilkan harga output yang lebih rendah.
Dengan demikian, menjadi penting untuk mengkaji pengaruh perbedaan penetapan harga atau upah tersebut terhadap dua masalah pokok berikut:
a.                Pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja, yang dalam studi industri akan terdeteksi dari perbedaan entrant yang masuk dalam suatu periode, dan perbedaan ekspansi perusahaan incumbent (perusahaan yang sudah ada).
b.                Pengaruh diferensiasi upah juga akan terdeteksi dengan melihat seberapa jauh jarak antara upah minimum yang ditetapkan dengan upah aktual. Jarak yang semakin dekat menunjukkan sudah terserapnya surplus si pembeli/pengguna tenaga kerja.
Ketiga, kecenderungan populis di berbagai wilayah Indonesia dalam penetapan upah mimnimum, misalnya terbukti dengan diferensiasi upah ke atas di propinsi-propinsi yang menetapkan upah sektoral pada tahun 2001 dan tahun 2002. Kebijakan tersebut tidak lain bertujuan memperbaiki posisi buruh. Tekanan serikat buruh akhir-akhir ini dirasakan sangat kuat, seiring dengan situasi politik mendorong penetapan upah minimum yang populis.
Perlu dipertanyakan sejauh mana sebenarnya hubungan antara upah dan produktivitas di berbagai wilayah. Produktivitas memiliki beragam senyawa elemen pencipta yang kompleks mulai dari kondisi ketenagakerjaan, kapital yang digunakan, jenis pemilihan atau investasi kapital, dan sebagainya.  Dalam bidang SDM misalnya mengikuti teori upah efisiensi, upah dipandang sebagai alat meningkatkan produktifitas (Leibenstein, 1963; Akerlof, 1988; Blanflower, 1996).
Rendahnya kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, secara internasional sepadan dengan produktifitasnya. Dibanding dengan negara-negara tetangga yang memiliki iklim dan tipe masyarakat yang hampir semisal di Asia, Indonesia menempati tingkat produktifitas yang rendah, sebagaimana terlihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1
Produktivitas Pekerja dan Upah terhadap Singapura, Sektor Manufaktur, 1990 (dalam US$ konstan 1985)

Negara
Produktivitas Tenaga Kerja*
Produktivitas Relatif
Upah per Pekerja
Upah Relatif
Korea Selatan
16744
62
4733
60
Taiwan
13291
50
5936
75
Muangthai
7717
29
1528
19
Indonesia
5875
22
1065
13
Hongkong
11185
42
6264
79
Singapura
26849
100
7892
100
Malaysia
11579
43
2901
37
Filipina
6077
23
1642
21
     Sumber: UNIDO dalam Anwar dkk:1995:232
     * Nilai Tambah dibagi jumlah pekerja

Perbedaan produktifitas tersebut selanjutnya akan dikaji antar propinsi di Indonesia untuk memperoleh pengetahuan tentang pola hubungan antara upah dan produktivitas. Penelitian ini akan memberikan gambaran empirik bagaimana kaitan kebijakan upah minimum dengan produktifitasnya di berbagai propinsi. Sehingga dengan demikian dapat disumbangkan suatu pemikiran yang relevan mengenai hubungan industrial di Indonesia.

Subjek Penelitian. Penelitian mengenai penentuan upah minimum sektoral antarindustri didasarkan pada data hasil survai industri Badan Pusat Statistik. Survai mencakup semua industri sedang dan besar yang ada pada direktori BPS. Upah minimum sektoral pada hakekatnya adalah upaya penentuan upah yang bertujuan mengakomodasi kemampuan membayar suatu industri. Oleh karena itu subjek penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan menengah dan besar yang masuk dalam direktori BPS.
            Perusahaan-perusahaan yang masuk dalam direktori BPS terdiri dari semua perusahaan formal yang ada di Indonesia.  Berdasar data ini akan disusun suatu indeks upah minimum sektoral. Selanjutnya indeks upah minimum sektoral yang dihasilkan dari penelitian ini akan dibandingkan dengan upah minimum sektoral aktual. Tidak semua propinsi menetapkan upah minimum sektoral, diantaranya yang memiliki paling lengkap mencakup lebih banyak industri adalah Sumatra Utara dan Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, indeks upah minimum sektoral hasil riset akan dibandingkan dengan UMSP Sumatara Utara.

B. HASIL YANG DIHARAPKAN ATAU PETA JALAN KEBIJAKAN  
  1. Dengan dihasilkannya indeks UMSP dari riset ini diharapkan dapat menjadi tambahan bahan pertimbangan bagi industri dan pengambil kebijakan upah lainnya. Karena manfaat upah minimum sektoral adalah mengakomodasi industri dengan berbagai kemampuan membayar yang dimilikinya, maka riset ini mendorong propinsi-propinsi yang tidak menetapkan UMSP untuk ikut menentapkannya.
  2. Setelah dapat diformulasikan indeks upah minimum antarindustri yang dapat digunakan di berbagai propinsi di Indonesia, studi ini mendorong adanya atau diberlakukannya variasi upah minimum antarindustri, karena diasumsikan lebih fleksibel, dan lebih akomodatif mewadahi berbagai kemampuan membayar antar industri (ability to pay) yang bersumber kepada perbedaan produktivitas. Selanjutnya, akan dilihat pengaruh (diferensiasi penetapan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja di berbagai industri dan di berbagai propinsi dengan melihat dua hal pokok berikut. Pertama, besar entrant dalam suatu periode dan ekspansi yang diukur dengan perubahan tenaga kerja yang digunakan pada berbagai industri, di berbagai propinsi yang menggunakan variasi upah mnimum yang berbeda. Kedua, perbedaan upah minimum dan upah aktual yang menunjukkan seberapa jauh penyerapan surplus tenaga beli dari pengguna tenaga kerja. Jika upah minimum secara signifikan masih lebih rendah dari upah aktual,  maka berarti masih banyak industri yang menerapkan premi upah (masih banyak surplus pembeli/pengguna tenaga kerja yang lebih kaya). Sebaliknya, jika upah minimum sudah di atas upah aktual, hal tersebut menunjukkan sudah tidak ada surplus pembeli kaya. Hal tersebut menunjukkan terlalu pesatnya upah minimum, sehingga semua pembeli/pengguna tenaga kerja tidak mampu lagi memenuhi harga  yang  ditetapkan  (terjadi  discount  upah).  Hal  terakhir  ini  diduga menyebabkan rendahnya investasi (kelayakan usaha menjadi menurun), relokasi industri ke neraga lain, serta pemutusan atau pengurangan penggunaan tenaga kerja yang umumnya terjadi kepada pekerja tidak tetap, berusia muda, dan pekerja wanita.
  3. Pada point a dan b, dapat dikatakan sebagai usaha membentuk model normatif jika upah ingin divariasi sektoral dan memperhatikan produktivitas masing-masing industri. Selanjutnya, riset ini akan melaporkan hubungan upah dan produktivitas dalam kenyataan. Dengan demikian antara apa yang normatif dan apa yang aktual akan terlihat adanya gap. Upah, sebenarnya ditentukan sangat kompleks. Upah bukan sekedar ditentukan oleh skema optimalisasi sisi suplai dan sisi permintaan tenaga kerja di pasar, tetapi ditentukan secara politis–filosofis terkait dengan  sistem dan  bentuk perekonomian yang bagaimana yang diinginkan oleh suatu masyarakat. Upah tidak dapat diserahkan kepada pasar, lebih-lebih dalam konteks ekonomi dan ketenagakerjaan seperti di Indonesia. Intervensi negara diperlukan bukan hanya untuk menetapkan upah, tetapi untuk membawa kehidupan ekonomi secara umum. Dengan surplus suplai tenaga kerja seperti sekarang, pasar mungkin akan seimbang dengan upah yang rendah. Apabila itu terjadi, buruh akan hidup frustasi dengan kemiskinan yang mencekik, sementara buruh menyaksikan harga hasil karyanya, dan juga surplus yang dinikmati pengusaha, dan pajak yang dibayarkan kepada pemerintah  yang akhirnya untuk membiayai barang dan jasa publik. Lingkungan kelompok buruh mempertontonkan konsumsi yang tinggi yang bersumber dari surplus atau keringat mereka. Salah satu lingkungan buruh adalah iklan televisi, yang juga dibiarkan bebas mengikuti irama pasar dan memiliki logika lain, yaitu 10 persen dari lebih 200 juta rakyat memiliki standar ekonomi dan konsumsi yang tinggi itulah sebabnya televisi menayangkan iklan konsumtif dari bahan kosmetik sampai properti mewah-ekslusif. Upah minimum bagaimanapun tidak memungkinkan buruh menanggung kebutuhan yang dipompakan sedemikian rupa. Untuk membiayai kebutuhan pangan dan non pangan dasar yaitu perumahan, pendidikan, dan kesehatan,  jika upah dinaikkan 3 kali yang ada sekarang tetap belum dapat memenuhi kebutuhan layak. Lingkungan yang tidak lain adalah bentuk kemewahan fasilitas publik-gedung dan monumen megah, perilaku para pejabat negara, pengusaha yang menikmati laba, juga nasib yang lebih baik dari para kontributor di  industri atas, komponen lingkungan ini  kait mengkait memompa  konsumsi buruh dan kelompok bawah lainnya. Bukan hanya upah buruh yang perlu diintervensi dan tidak diserahkan secara membabi buta kepada pasar, tetapi juga perlu intervensi ekonomi yang lebih luas seperti memilih fasilitas publik apa yang lebih toleran kepada buruh yang miskin, seperti pencakar langit, hotel, lampu, monumen, taman, harga pendidikan, harga kesehatan, iklan TV dan seterusnya yang bertujuan menciptakan  menciptakan kehidupan umum yang lebih harmonis dengan kebijakan pendapatan buruh di sektor industri, petani dan buruh tani, buruh di sektor angkutan dan perdagangan, para pegawai rendah baik abdi negara maupun jasa swasta lainnya. Membiarkan semua sesuai asumsi dan syarat pasar akan menghasilkan upah keseimbangan sangat rendah dan kemiskinan kelompok bawah, di satu sisi,  dan  di sisi lain investasi ke lambang konsumsi tinggi dengan logika memenuhi 10 persen strata atas. Hal tersebut jika dibiarkan menyebabkan perasaan miskin lebih mendalam dan mengakibatkan frustasi massa. Antrian yang panjang dan kekerasan pada waktu pembagian SLT (subsidi langsung tunai) yang bersumber dari kompensasi subsidi BBM akhir-akhir ini merupakan cermin mengenai hal ini. Rasa malu yang merupakan pilar  penting sudah dilewati oleh semua fihak, akhirnya perlu ditekankan bahwa pendekatan ekonomi saja tidaklah cukup,  kehidupan ekonomi adalah manifestasi budaya bangsa yang komprehenship. Kemampuan memberikan upah kepada rakyat yang sangat rendah harus disertai dengan mengerem kehidupan umum yang glamour dan konsumtif, di samping itu pendekatan lain seperti mengajak rakyat meningkatkan harga diri, sikap ksataria, dan sabar yang bisa didekati dengan keagamaan-spiritual hendaknya tidak dipandang sebagai tidak terkait dengan kebijakan ekonomi.  Membiarkan gap upah dan dorongan konsumsi mewah hanya karena ingin memenuhi asumsi bekerjanya mekanisme pasar seperti mengorbankan realitas demi sebuah abstraksi imajiner. Karena menaikkan upah tidak mudah dilakukan sesuai dengan kemampuan teknologi umum yang dikuasai, maka mengerem kehidupan glamourlah pilihan yang bisa dilakukan. Sebagai contoh, dalam hal pilihan kebijakan publik, misalnya tata pemilikan frekuensi TV yang sangat terbatas seyogyanya masih dimiliki minimal 51 persen oleh pemerintah atau pada dasarnya milik pemerintah yang dioperasikan secara bagi hasil oleh swasta. Hal tersebut bertujuan agar aspirasi umum yang dilambangkan oleh kemampuan finansial buruh, diperhatikan oleh fihak broadcast. Kalau tidak, maka aspirasi perorangan yang diberi kekusaan menggunakan frekuensi TV dengan arogan mengarahkan kehidupan umum. Hal ini bertentangan dengan demokrasi dan pada dasarnya inilah tiran  atau diktaktor yang sebenarnya. Disebut demikian, karena pemimpin ekonomi tak tergantikan secara periodik sebagaimana pemimpin politik, bahkan mengarahkan pemimpin politik, maka otoritarianismelah yang kini terjadi yang dengan dungu kita bela mati-matian.